PAREPARE, BACAPESAN.FAJAR.CO.ID – Andi Palemmui kini menghitung dengan jari menanti waktu keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Makassar, Sulawesi Selatan. Mantan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Parepare itu mendekam di penjara untuk menjalani hukuman satu tahun bui dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan sejak 27 April lalu.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar menyatakan Andi Palemmui terbukti menyalahgunakan dana bantuan operasional sekolah. Palemmui membuat pertanggungjawaban fiktif, ganda, dan tidak sesuai peruntukkannya dalam penggunaan dana BOS pada 2018. Dari total anggaran Rp 1,59 miliar, negara merugi Rp 333,33 juta.

Jaksa penuntut umum Andi Dachrin mengatakan Palemmui menjalani masa tahanan sejak Januari lalu ketika berkas perkara dinyatakan lengkap dan siap disidangkan. Dengan begitu, Palemmui tak akan lama lagi mendekam di balik jeruji.

Selain itu, jaksa dan hakim juga menganggap Palemmui memiliki itikad baik karena mau membayar uang pengganti sesuai besaran yang dikorupsi. “Maka hukumannya telah diputus yakni 1 tahun. Kita harus hargai itikad baiknya karena ingin memulihkan kerugian negara atas perbuatannya,” kata jaksa Andi Dachrin, pada Minggu, 2 Oktober 2022.

Menurut Dachrin, Palemmui dalam persidangan juga telah mengakui dan menyesali perbuatannya. Dengan segala “niat baik” itu serta diimbangi dengan sikap baik selama di lembaga pemasyarakatan, Palemmui juga mendapat kortingan hukuman satu hari pada perayaan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu.

“Kalau nanti tetap memperlihatkan itikad baik selama menjalani hukuman di Lapas maka bisa saja mendapatkan remisi pembinaan luar tahanan dan itu bisa diajukan permintaan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) ,” kata Dahcrin.

Hukuman Palemmui yang terbilang ringan itu, ujar Dachrin, sudah sesuai dengan amanat Peraturan Presiden dan standar operasi prosedur Kejaksaan Agung bahwa penanganan kasus tindak pidana korupsi lebih mengutamakan pemulihan kerugian negara. Sebab kondisi keuangan negara sedang krisis di masa pandemi. Dachrin mengaku juga menggunakan dasar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang isinya apabila keuangan negara dipulihkan, maka dilakukan hukuman minimal kepada terdakwa.

Sebaliknya, jika terdapat perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat dan merugikan negara, Dachrin menyatakan jaksa akan memberikan hukuman seberat-beratnya. “Kalau perlu seumur hidup. Namun apabila kejahatan itu tidak terorganisir dan dianggap ada alasan-alasan pemaaf yang meringankan pelaku dan kerugian negara yang ditimbulkan sudah memulihkan kerugian keungan negara sesuai dengan ketentutan dan petunjuk surat edaran Kejaksaan Agung ataupun aturan dalam Perpres maka itu yang kami ikuti,” ujar Dachrin menegaskan.

Tren mendapatkan hukuman ringan ini tak hanya diperoleh Palemmui. Penelusuran FAJAR di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Makassar, jaksa cenderung menuntut para terdakwa korupsi dengan hukuman ringan. Karena itu, majelis hakim dalam putusannya juga menjatuhkan hukuman satu sampai dua tahun penjara, yang paling tinggi tiga tahun bui.

Pada 2021 misalnya, ada 23 terdakwa korupsi yang divonis satu tahun penjara. Alasannya sama dengan Palemmui, para terdakwa korupsi itu sudah mengembalikan uang kerugian negara. Sedangkan terdakwa yang tidak mengembalikan uang kerugian negara diganjar hukuman di atas satu tahun, ditambah uang denda. Begitu pula pada tahun berikutnya, terdapat 11 terdakwa perkara korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara hanya mendapat hukuman satu tahun penjara.

Pengamat hukum dari Lembaga Anti Corruption Committee (ACC) Provinsi Sulawesi Selatan Angga menilai aturan-aturan meringankan hukuman terdakwa korupsi yang dipaparkan jaksa terlalu mengada-ada. Menurut dia, tidak ada aturan yang menerangkan jika seorang pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan uang kerugian negara akan mengurangi masa tahanan. “Malah yang ada memberatkan pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Dia mau ada itikad baik mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi, mengakui perbuatan, atau meminta maaf itu tidak ada tidak ada alasan mengurangi tuntutan masa hukuman pelaku,” tegasnya.

Jika pola penanganan kasus korupsi seperti itu, kata dia, hanya akan memberi ruang dan kesempatan kasus rasuah kian mewabah. “Kalau ini terus terjadi, tidak ada efek jera bagi pelaku,” ujarnya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, saat memberikan materi dalam pelatihan jurnalistik Residensi Anti korupsi Mewartakan Jurnalisme Hukum oleh Transparancy International Indonesia menjelaskan, penanganan kasus korupsi dana BOS SMA Negeri 2 atau kasus korupsi lainnya tidak boleh menjadikan upaya pengembalian kerugian negara sebagai acuan keringanan masa tahanan pelaku korupsi. Sistem nego-nego seperti pengembalian kerugian negara, menurut dia, justru hanya menguntungkan pihak kejaksaan.

“Ingin kelihatan kerennya pada akhir tahun, mereka (Kejaksaan) akan mengumumkan menyelamatkan jumlah kerugian negara lebih besar dibanding dengan penyelamatan uang kerugian negara yang dilakukan oleh KPK. Makanya dia kejar di situ (pemulihan kerugian negara),” ucap Bivitri.

“Jika terdapat negosiasi untuk alasan apa pun termasuk untuk menegosiasikan pasal, unsur, dan tuntutan hal itu semua sebenarnya melanggar hukum,” ujar dia.

Kuasa hukum Palemmui, Samiruddin, membenarkan kliennya telah mengembalikan anggaran dana BOS yang dikorupsi sekitar Rp 333 juta.

“Seandainya sebelum dijadikan tersangka, kerugian negara itu cepat dikembalikan mungkin tidak diproses hanya sampai di pihak kepolisian saja,” kata Samiruddin.

Dari beberapa pengamatan Samiruddin terhadap kasus korupsi yang dia tangani, pelaku yang memiliki itikad baik mengembalikan uang yang telah dikorupsi, mengakui, dan menyesali perbuatannya, rata-rata mendapatkan hukuman lebih ringan.

“Rata-rata kasus korupsi yang saya tangani seperti itu. Jika ada itikad baik hukumannya lebih ringan,” ujarnya. (Kalma)

Sumber: Fajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *